Sunday, 18 January 2015

Zaman Mesolitikum

Zaman Mesolitikum atau zaman batu madya adalah periode peralihan atau di antara zaman Paleolitikum dan Neolitikum. Pada zaman ini, cara hidup manusia masih hampir sama dengan zaman Paleolitikum, yaitu berburu dan menangkap ikan. Namun, pada zaman Mesolitikum pula, manusia sudah mempunyai tempat tinggal tetap dan sudah memulai bercocok tanam meskipun masih sangat sederhana. Perkembangan manusia dan kebudayaan pada era ini berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan zaman sebelumnya karena didukung oleh manusia jenis Homo Sapiens (manusia cerdas). Alat-alat yang digunakan pada zaman Paleolitikum masih digunkan di zaman ini dan bahkan dikembangkan dan dihaluskan. Berikut adalah beberapa penginggalan zaman Mesolitikum di Indonesia :
  1.   Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a.       Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah. Jadi, Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur. Sebenarnya Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolitikum).

b.      Pebble (kapak genggam Sumatera)
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.

c.       Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.

d.      Pipisan
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.

2.    Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo - Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.

3.Kebudayan Toala (Flake Culture)
Dua orang peneliti dari Swiss yaitu Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, pada tahun 1893-1896 mengadakan penelitian di Gua Lamoncong, Sulawesi Selatan. Gua-gua tersebut masih didiami suku bangsa Toala. Mereka berdua berhasil menemukan alat-alat serpih (flake), mata panah bergerigi dan alat-alat lain dari tulang. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan Van Stein Callenfeils memastikan bahwa kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan mesolitikum. Alat-alat yang menyerupai alat kebudayaan Toala juga ditemukan di NTT, yaitu Flores, Roti, dan Timor. Sedangkan di daerah Priangan, Bandung ditemukan flake yang terbuat dari obsidian (batu hitam yang indah).

No comments:

Post a Comment