Zaman Mesolitikum atau
zaman batu madya adalah periode peralihan atau di antara zaman Paleolitikum dan
Neolitikum. Pada zaman ini, cara hidup manusia masih hampir sama dengan zaman
Paleolitikum, yaitu berburu dan menangkap ikan. Namun, pada zaman Mesolitikum
pula, manusia sudah mempunyai tempat tinggal tetap dan sudah memulai bercocok
tanam meskipun masih sangat sederhana. Perkembangan manusia dan kebudayaan pada
era ini berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan zaman sebelumnya karena
didukung oleh manusia jenis Homo Sapiens (manusia cerdas). Alat-alat yang
digunakan pada zaman Paleolitikum masih digunkan di zaman ini dan bahkan
dikembangkan dan dihaluskan. Berikut adalah beberapa penginggalan zaman
Mesolitikum di Indonesia :
- Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari
bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah. Jadi,
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur. Sebenarnya Kjokkenmoddinger adalah
timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7
meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan
disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari
bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada
zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolitikum).
b. Pebble (kapak genggam Sumatera)
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak
genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan
pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya
yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu
kali yang dipecah-pecah.
c. Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
d. Pipisan
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang,
juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan
selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk
menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah
diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung
(Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa
lawa di Sampung (daerah Ponorogo - Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931,
ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah
diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan
besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu
adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.
3.Kebudayan Toala (Flake Culture)
Dua orang
peneliti dari Swiss yaitu Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, pada tahun 1893-1896
mengadakan penelitian di Gua Lamoncong, Sulawesi Selatan. Gua-gua tersebut
masih didiami suku bangsa Toala. Mereka berdua berhasil menemukan alat-alat
serpih (flake), mata panah bergerigi dan alat-alat lain dari tulang. Berdasarkan
alat-alat yang ditemukan Van Stein Callenfeils memastikan bahwa kebudayaan
Toala tersebut merupakan kebudayaan mesolitikum. Alat-alat yang menyerupai alat
kebudayaan Toala juga ditemukan di NTT, yaitu Flores, Roti, dan Timor.
Sedangkan di daerah Priangan, Bandung ditemukan flake yang terbuat dari
obsidian (batu hitam yang indah).
No comments:
Post a Comment